57 Detik, Satu Detik Sangat Berharga

Kamis, 18 Februari 2010

Sebenarnya novel ini sudah terbit agak lama, tapi ya tak apalah kalau saya review lagi. Pertama kali saya tahu novel ini ketika saya iseng-iseng browsing novel teenlit. Ketika itu novel ini masih bisa dibilang baru. Saya tertarik karena membaca sinopsisnya. Besoknya ada teman saya, Sidiq, yang berkata kalau dia sudah baca novel ini. Dan dengan pelitnya dia nggak mau minjemin, nyeritain sedikit aja nggak mau. Hmmm... Tapi akhirnya saya bisa membeli novel ini. Weee...

Saya yakin saya pasti belum bisa untuk membuat novel semacam ini. Sangat menjiwai kalau saya bilang. Apalagi menggunakan 3 sudut pandang dari orang yang berbeda. Susah, kan, untuk mebuat seolah-olah kita menjadi 3 karakter yang berbeda? (Maksud saya, bukankah dalam pembuatan novel kita harusnya menjiwai karakter tokohnya? Atau tidak harus? Hehehe. Sayang saya bukan novelis.)

aku dan novelku
bersama kaos pink motif bunga berkerah plus celana pendek kotak-kotak. kostum yang pas buat tidur sih sebenernya.

Tema novel ini juga lain daripada yang lain. Tentang gempa! Aduuuuh. Pertama sih saya sangsi, apakah bisa si penulis menggambarkan suasana gempa dengan kata-kata? Lalu ketika saya baca penggambaran gempa yang pertama kali muncul di novel itu, saya berpikir, "Ah, masa sih gempa seperti itu?" (saya berkata seperti itu karena saya tidak pernah-dan jangan sampai- mengalami gempa). Namun setelah saya baca lebih lanjut, ih, ternyata penggambarannya sangat detil. Apalagi penggambaran tentang waktu. Seseorang telat satu detik saja, bisa jadi dia tertimpa reruntuhan. Hiii...

Bercerita tentang 3 remaja, yaitu Nisa, Aji, dan Ayomi, yang bercerita tentang kehidupan mereka sebelum gempa, saat gempa, dan sesudah gempa. Latar belakang mereka pun berbeda. Nisa adalah seorang anak perempuan pemilik toko kelontong, Aji adalah mahasiswa kedokteran UI, sedangkan Ayomi adalah seorang anak pejabat. Tapi mereka bisa ditemukan di suatu tempat (di rumah sakit) saat gempa. Kala itu Nisa sedang menunggui ibunya yang sedang dirawat, Ayomi sedang dirawat malahan, dan Aji jadi relawan di sana.

Kehidupan setelah gempa pun diceritakan. Bagaimana mereka bertahan di tenda, saling menolong korban gempa, dan menghibur satu sama lain. Semangat 'lain' yang timbul karena gempa juga ada.

Tapi jangan dikira novel ini begitu melankolis. Ada cerita lucunya juga kok. Apa? Rahasia, dong! Kalau saya ceritakan pasti nanti jadi tidak lucu lagi... Hehehe.

Jadi? Anda tertarik untuk membacanya?

Oh, iya! Pengarang novel ini adalah Ken Terate yang juga menulis My Friends, My Dreams; Marshmellow Cokelat; dan Jurnal Jo. Kalau mau tahu tentang Ken Terate, ini link ke blognya. Ken Terate.

0 komentar:

Posting Komentar

 

2009 ·Semanggi 4 Jari by TNB