Right After 'The Da Vinci Code'

Senin, 28 Juli 2014

"Artinya, sejarah selalu ditulis oleh pemenang. Ketika dua kebudayaan berbenturan, yang kalah dihapuskan dan yang menang menulis buku-buku sejarah—buku-buku yang memuliakan perjuangan mereka sendiri dan meremehkan musuh yang tertaklukkan. Seperti yang pernah dikatakan oleh Napoleon, ‘Apakah sejarah, selain dongeng yang disetujui?’ Berdasarkan sifatnya, sejarah selalu merupakan catatan dari satu sisi."

--Tokoh Leigh Teabing dalam novel karya Dan Brown, The Da Vinci Code.


Ah, aku harusnya belajar lebih serius di pelajaran Sejarah waktu SMA. Sepertinya hal-hal seperti ini banyak dibahas di bab-bab awal Sejarah kelas X. Sifat sejarah, fungsi sejarah, sumber-sumber sejarah, dan yah, maaf karena memoriku tertimbun sejarah pembentukan sel darah merah (yang juga penting).


Dulu aku memandang sejarah sambil lalu, sambil memikirkan Gerak Melingkar Berubah Beraturan yang lebih ditekankan oleh sekolah. Oke, aku tahu sejarah itu penting, sejarah itu seperti perjalanan hidup, tapi ya cuma seperti itu.


Dulu belum terpikir bahwa hidup ini seperti suatu siklus, apa yang terjadi sekarang mungkin sudah pernah terjadi di masa lalu. Rabies membuktikan. Sebagai re-emerging disease, dia ada, lalu hilang, tetapi muncul lagi. Atau siklus Polybius yang pernah diajarkan di kelas XII, yang menyatakan sifat kepemimpinan akan berputar dari monarki, tirani, aristrokrasi, oligarki, demokrasi, oklokrasi, lalu kembali ke monarki lagi. Sejarah berulang.


Dulu belum terpikir juga bahwa sejarah bisa diubah oleh sekelompok orang berkepentingan. Mengubah yang benar, atau menyembunyikan yang benar. Ini terjadi kok pada sejarah kesultanan Ustmani yang sangat berjaya di masa lalu (walaupun akhirnya kolaps). Sewaktu sekolah, seingatku hanya ada kisah tentang zaman prasejarah, lalu lompat ke masa Hindu-Budha. Bahkan ketika membahas masa Islam, sama sekali tidak disinggung tentang Ustmani. Walaupun tidak mendetail, malah sempat dibahas tentang Revolusi Industri. Lalu yang aku ingat hanya kisah-kisah perang dunia, kolonialisme di Indonesia, dan ya masuk ke orde lama-orde baru. Kalau tidak diceritakan oleh seorang ketua Rohis yang kebetulan sekelas dan maniak Ustmani, mungkin aku tidak tahu Eropa pernah masuk abad kegelapan.


Oke, sekarang aku bisa memahami perasaan guru Sejarahku yang sangat sensitif dengan kelakuan anak-anak IPA waktu itu. Anak-anak yang bertingkah seolah-olah kasta mereka lebih tinggi. Padahal ya biasa aja.


Aku berdoa semoga adik-adikku yang masih di bangku sekolah mendapat trigger untuk mempelajari Sejarah dengan serius. Mengapa? Yah, yakinlah ketika mereka masuk sekolah yang berhubungan dengan IPA, mereka butuh kemauan dan kerja agak keras untuk mendapatkan kuliah Sejarah.


(No, science is still my passion (yeah, at least my motoric cortex force me to write so). I just want to look at the other side for a while. It is human that makes science seems interesting, right?)


Already posted on my Tumblr
anggivish.tumblr.com

Seperti Itulah

Bayangkan kamu punya suatu barang. Kamu punya andil dalam pembuatan barang tersebut. Bayangkan barang itu adalah kreasimu, hasil pemikiran dari inspirasi-inspirasi yang datang padamu, dan dapat mengungkapkan apa yang kamu inginkan sebenarnya. Bagaimana rasanya? Bangga bukan? Hal itu akan terus merasuk di pikiranmu bahwa jerih payahmu menghasilkan sesuatu yang nyata. Entah bagaimana kata orang, baik ataupun buruk, tidaklah mengubah fakta bahwa barang itu adalah milikmu.

Bayangkan juga kamu dapat hidup dalam usia yang panjaaaaaaaaaang, sehingga dapat melihat bentuk selanjutnya dari kreasimu di masa depan. Walaupun banyak usulan membangun dan memodifikasi hasil karyamu sesuai dinamika waktu, karyamu tetap menjadi karyamu. Seyogjanya kamu tidak akan lupa. Seharusnya semangat itu akan terus ada ketika kamu berjumpa dengannya. Kamu bisa mengapresiasi lebih dari orang lain karena itu milikmu, sesuai dengan jiwa yang terbentuk di dalam tubuhmu, dan yang paling penting, kamu mengerti dan memahami.

Seperti itulah budayamu, kawan. Cobalah mengerti budaya-budaya luhur bangsamu karena itu lah milikmu. Percayalah jika kamu mau, memahaminya tidak akan butuh waktu lama. Jiwa itu sudah tertanam, sesuai dengan pondasi berpikir kita. Cobalah buka hati dan pikiran untuk apa yang menjadi milik kita. Ingat, milik kita, milik kita, milik kita. Bukalah untuk apa yang menjadi milik kita.

Ya, seperti itulah…

Pahamilah bahwa dibalik dua jam sendratari tidak hanya ada penari-penari. Lihatlah bagaimana cara mereka menyampaikan, membuat kita mengerti melalui keindahan, cara mereka berjuang, membuat tiap hembusan napas mempunyai arti, dan yang terpenting menunjukkan cinta dibalik itu semua.

Lihat…
Itu masih menjadi milikmu sekarang.

Yogyakarta, 11 April 2014
Pukul 23.20
Seusai menonton sendratari Ramayana yang memukau.

Already published on my Tumblr
anggivish.tumblr.com

 

2009 ·Semanggi 4 Jari by TNB